Ikhwani fillah… materi yang akan kita kaji sekarang adalah tentang penamaan musyrik. Siapakah yang disebut orang musyrik itu? Kapan seseorang dikatakan musyrik? Apakah ada kaitan antara penamaan musyrik dengan tegaknya hujjah? Apakah pelaku syirik akbar yang jahil bisa dikatakan musyrik? Mari kita mengkajinya dengan berlandaskan Al-Qur’an, As-Sunnah serta ijma’ dan pernyataan para ulama dakwah tauhid.
Syirik adalah lawan tauhid, maka tidak ada tauhid bila syirik terdapat pada diri seseorang. Orang yang berbuat syirik akbar dengan sengaja tanpa ada unsur paksaan maka dia itu musyrik, baik laki-laki atau perempuan, baik mengaku Islam atau tidak, berdasarkan dalil-dalil berikut ini:
A. Dalil-dalil dari Kitabullah (Al-Qur’an):
“Dan bila ada satu orang dari kalangan orang-orang musyrik meminta perlindungan kepadamu, maka berilah dia perlindungan sampai dia mendengar firman Allah.” (QS. At Taubah [9]: 6).
Dalam ayat ini Allah menamakan pelaku syirik sebagai orang musyrik, meskipun dia belum mendengar firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala, maka apa gerangan dengan pelaku syirik yang telah mendengar firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dia membaca Al Qur’an dan terjemahannya. Bahkan mungkin juga menghafalnya…
Bila ada yang mengatakan: “Ayat itu berkenaan dengan para penyembah berhala, tapi kenapa kamu terapkan kepada orang yang mengaku Islam hanya karena dia melakukan syirik akbar, sedangkan dia shalat, zakat, shaum dan melakukan ibadah lainnya?”
Jawaban: Silakan rujuk kitab Kasyfusy Syubuhat karya Syaikh Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah supaya lebih jelas.
“Tidak selayaknya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampunan bagi kaum musyrikin, meskipun mereka itu kerabat dekat.” (QS. At Taubah [9]: 113).
Ayat ini berkenaan dengan Rasulullah shallallaahu’alaihi wa sallam saat meminta izin kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk memintakan ampunan bagi ibunya yang meninggal sebelum Rasulullah diutus, dan meninggal di atas ajaran kaumnya yang syirik. Allah Subhanahu Wa Ta’ala menggolongkan ibunda beliau dalam jajaran kaum musyrikin, padahal saat itu dalam kebodohan, belum ada dakwah dan hujjah risaliyyah (saat itu terjadi kekosongan dakwah, ed.). Maka apa gerangan dengan pelaku syirik akbar yang mengaku Islam, padahal hujjah ada di sekeliling mereka dan Al Qur’an mereka baca bahkan mereka hafal…?
Kalau ada yang berkata: “Kenapa orang yang mengaku Islam dan rajin beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, tapi dia berbuat syirik akbar karena kebodohannya tetap dikatakan musyrik?”
Jawab: Di dalam Al Qur’an dan As Sunnah yang diperintahkan bukan ibadah kepada Allah, tapi beribadah kepada Allah dan meninggalkan syirik, yaitu memurnikan ketundukan hanya kepada-Nya. Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan beribadahlah kalian kepada Allah dan jangan menyekutukan sesuatupun dengan-Nya.” (QS. An Nisaa’ [4]: 36).
Saya bertanya: “Apakah orang yang meminta kepada yang sudah mati itu disebut menyekutukan Allah Subhaanahu Wa Ta’ala atau tidak? Apakah yang ikut dalam sistem demokrasi itu menyekutukan Allah Subhaanahu Wa Ta’ala atau tidak?”
“Dan mereka tidak diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Allah seraya memurnikan seluruh dien (ketundukan) hanya kepada-Nya, lagi mereka itu hanif” (QS. Al Bayyinah [98]: 5).
Saya bertanya: “Apakah orang yang menyandarkan hak hukum kepada rakyat atau wakil-wakilnya itu telah memurnikan dien (ketundukan) seluruhnya kepada Allah atau sebaliknya? Padahal hukum adalah dien”:
“Hak hukum (putusan) hanyalah milik Allah. Dia memerintahkan agar kalian tidak beribadah kecuali kepada-Nya. Itulah dien yang lurus….” (QS. Yusuf [12]: 40).
“Dia (Yusuf) tidak mungkin membawa saudaranya pada dien (UU/Hukum) raja itu” (QS. Yusuf [12]: 76).
Orang yang di samping beribadah kepada Allah juga beribadah kepada yang lainnya, sesungguhnya dia itu tidak dianggap beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
“Katakanlah : “Wahai orang-orang kafir, aku tidak beribadah kepada tuhan-tuhan yang kalian ibadati.” (QS. Al Kaafiruun [109]: 1-2).
Dalam surat ini Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam diperintahkan untuk menyatakan: (Saya tidak akan beribadah kepada tuhan-tuhan yang kalian ibadati, wahai orang-orang kafir Quraisy !), padahal di antara tuhan yang mereka ibadati itu adalah Allah ! Apakah ini berarti Rasulullah tidak akan beribadah kepada Allah juga? Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa peribadatan mereka kepada Allah itu tidak dianggap, karena mereka juga beribadah kepada yang lain-Nya.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda di dalam hadits shahih : “Hak Allah atas hamba-hamba-Nya adalah mereka beribadah kepada-Nya dan mereka tidak menyekutukan sesuatupun dengan-Nya” (HR. Bukhari-Muslim)
Jadi penafian syirik adalah syarat dalam beribadah kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala. Maka dari itu Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa: “Islam adalah mentauhidkan Allah dan beribadah kepada-Nya saja tidak ada sekutu bagi-Nya…”. (Thariq Al Hijratain, Thabaqah yang ke-17).
“Mereka (orang-orang Nashrani) telah menjadikan para ulama dan para rahib (ahli ibadah) mereka sebagai arbaab (tuhan-tuhan) selain Allah dan juga Al Masih Ibnu Maryam, padahal mereka tidak diperintahkan, kecuali untuk ibadah kepada ilaah yang satu, tidak ada ilah (yang berhak diibadati) kecuali Dia, Maha Suci Dia dari apa yang mereka sekutukan.” (QS. At Taubah [9]: 31).
Dalam ayat ini Allah memvonis orang-orang Nashrani sebagai orang-orang musyrik, padahal mereka tidak mengetahui bahwa sikap mereka mengikuti ‘ulama dan rahib dalam aturan yang bertentangan dengan aturan Allah itu adalah bentuk ibadah kepada ‘ulama dan rahib itu, sebagaimana yang Rasulullah jelaskan dalam hadits hasan dari ‘Adiy Ibnu Hatim radliyallahu ‘anhu. Maka begitu juga para pejabat dan aparat keamanan di negeri demokrasi, yang mana mereka itu dengan sigap berkomitmen dengan UU yang digulirkan oleh thaghut-thaghut mereka.
Kandungan yang tadi saya sebutkan tentang ayat ini telah dikabarkan oleh Al ‘Allamah ‘Abdullah Ibnu ‘Abdirrahman Aba Buthain dalam Risalah Al Intishar Li Hizbillah Al Muwahhidun.
“Orang-orang yang kafir dari kalangan Ahlul Kitab dan kaum musyrikin (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sehingga datang kepada mereka bayyinah, yaitu utusan dari Allah yang membaca lembaran-lembaran yang disucikan.” (QS. Al Bayyinah [98]: 1-2).
Perhatikanlah, dikarenakan mereka berbuat syirik akbar, maka mereka dinamakan kaum musyrikin, meskipun rasul belum datang kepada mereka. Maka apa gerangan dengan pelaku syirik masa sekarang, rasul telah datang, Al Qur’an ada di setiap rumah mereka, bahkan sebagian mengaku sebagai ‘ulama dan ahli Islam ? Tidak ragu lagi –jika mereka berbuat syirik akbar– mereka itu adalah kaum musyrikin, baik dia ustadz, kyai, ‘ulama atau cendekiawan atau orang umum, karena syirik dan status musyrik tidak mengenal status atau jabatan.
Al Imam Su’ud Ibnu ‘Abdil ‘Aziz Ibnu Muhammad Ibnu Su’ud rahimahullah berkata : “Siapa yang memalingkan satu macam dari (ibadah) itu kepada selain Allah, maka dia itu musyrik, baik dia itu ahli ibadah atau orang fasiq, dan sama saja (apakah) tujuannya baik atau buruk.” (Ad Durar As Saniyyah: 9/270).
Syaikh Muhammad rahimahullah berkata kepada hakim agung Riyadh yang bernama Sulaiman Ibnu Suhaim: “Tapi kamu adalah laki-laki yang bodoh lagi musyrik.” Lihat Risalah kepadanya dalam Tarikh Nejd.
Sebenarnya masih banyak ayat-ayat yang memvonis pelaku syirik akbar sebagai orang musyrik, padahal hujjah risaliyyah belum tegak.
Saat membaca ayat-ayat tentang kaum musyrikin kebanyakan orang hanya menafsirkannya dengan orang-orang musyrik Arab dan jarang ada orang yang mau menafsirkan seraya menghubungkannya dengan realita masyarakat di sekelilingnya, maka dari itu banyak yang jatuh kepada kemusyrikan tanpa disadari.
Umar Ibnul Khaththab radliyallaahu ‘anhu berkata: “Orang-orang itu telah lalu, dan tidak dimaksud oleh dalil itu kecuali kalian.” Beliau berkata lagi: “Ikatan-ikatan Islam ini lepas satu demi satu bila tumbuh di dalam Islam ini orang yang tidak mengenal jahiliyyah.”
B. Dalil-dalil dari As Sunnah :
Dahulu ada seorang laki-laki datang bertanya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tentang ayahnya yang meninggal pada zaman fatrah (zaman ketika tidak ada dakwah) di atas ajaran syirik, maka Rasulullah menjawab: “Ayahmu di neraka”, mendengar jawaban itu si laki-laki mukanya merah, dan ketika dia berpaling, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam memanggilnya dan mengatakan kepadanya : “Ayahku dan ayahmu di neraka.” (HR. Muslim).
Ayah Rasulullah ~’Abdullah~ meninggal pada zaman jahiliyyah, saat tidak ada dakwah dan tidak ada hujjah risaliyyah, meninggal di atas ajaran syirik kaumnya. Rasulullah bukan hanya menetapkan status nama di dunia, tapi juga langsung hukum pasti bagi ayahnya di akhirat kelak, berupa api neraka. Dari hadits ini Imam Nawawiy rahimahullah menyatakan bahwa orang yang berbuat syirik akbar, baik zaman fatrah atau bukan, baik ada dakwah atau tidak, dia itu adalah calon penghuni neraka.
Sebagian ‘ulama yang lain sepakat dengan penamaan status musyrik itu di dunia, walaupun mereka berselisih tentang statusnya di akhirat. Ini adalah kaitan dengan pelaku syirik di zaman fatrah. Apa gerangan dengan pelaku syirik akbar masa sekarang, karena Rasulullah sudah diutus, dakwah ada, hujjah beraneka ragam bentuknya, dan Al Qur’an dilantunkan di masjid-masjid…?! Sungguh mereka itu adalah orang-orang musyrik bukan kaum muslimin. Di antara mereka ada yang meminta ke kuburan keramat, ada yang membuat tumbal, sesajen, dan ada pula yang menyandarkan wewenang hukum kepada selain Allah Subhaanahu wa Ta’ala. Mereka adalah kaum musyrikin tanpa diragukan lagi.
Ada rombongan dari Banu Al Muntafiq, mereka bertanya tentang ayah mereka Al Muntafiq yang meninggal pada zaman fatrah. Rasulullah menjelaskan bahwa dia itu di neraka, kemudian beliau menyatakan : “Demi Allah, kamu tidak melewati satu kuburan pun dari orang ‘Amiriy atau Quraisy dari kalangan orang musyrik, maka katakan: “Saya diutus kepada kalian oleh Muhammad untuk memberi kabar bahwa kalian digusur di dalam api neraka.” (shahih, riwayat Al Imam Ahmad).
Dalam hadits ini orang yang meninggal di atas syirik dari kalangan Ahlul Fatrah disebut musyrik. Maka apa halnya dengan zaman yang zaman bukan fatrah?
Apa faidah kalian membela-bela para pelaku syirik akbar wahai maz’uum? Kalian tidak tegakkan hujjah atas mereka, kalian bela mereka dan kalian akrab bercengkerama dengannya. Sementara kaum muwahhidin yang bara’ dari syirik dan para pelakunya serta telah menegakkan hujjah atas mereka, kalian justeru memusuhinya dan membencinya. Inikah ciri Ahlus Sunnah Wal Jama’ah atau justeru ini ciri Ahlul Bid’ah Wadldlalalah? Inikah manhaj As Salaf Ash Shalih yang kalian klaim atau justeru ciri Khawarij Azariqah yang kalian tuduhkan kepada kami wahai maz’uum?
C. Ijma Para ‘Ulama
Para ulama ijma bahwa orang yang berbuat syirik akbar itu dinamakan musyrik. Hal yang menjadi perbedaan di antara mereka hanyalah masalah ‘adzab di akhirat bagi yang belum tegak hujjah risaliyyah atasnya.
Adapun masalah nama di dunia mereka sepakat bahwa ia adalah musyrik. Sehingga mereka sepakat bahwa status anak orang musyrik di dunia adalah musyrik, namun perbedaan di antara mereka hanya dalam masalah status akhirat, dia ke surga atau ke neraka. Di dunia tentang nama sepakat, sehingga anak-anak orang musyrik dijadikan budak, sedangkan orang muslim itu tidak bisa dijadikan budak di awalnya.
Syaikh Hamd Ibnu ‘Atiq rahimahullah berkata : “Para ulama ijma’ bahwa orang yang memalingkan satu macam dari 2 do’a (do’a ibadah dan do’a permintaan) kepada selain Allah maka dia itu telah musyrik, meskipun mengucapkan Laa Ilaaha Illallaah, shalat, dan mengaku muslim.” (Ibthal At Tandid).
Bila banyak orang yang berbuat syirik akbar namun dia masih rajin shalat, dsb, padahal sebenarnya dia tahu bahwa orang musyrik itu amalannya tak berarti, kekal di neraka bila mati di atasnya, serta tidak diampuni. Itu terjadi tak lain karena dia tidak tahu bahwa yang dia lakukan itu perbuatan syirik atau tidak tahu bahwa dirinya musyrik, namun demikian para ulama sepakat bahwa orang jahil itu adalah musyrik.
Para ‘ulama juga ijma’ bahwa hal paling pertama yang diserukan semua Rasul adalah ajakan beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan penanggalan syirik yang mereka lakukan. Para rasul itu mengkhithabi kaumnya atas dasar mereka itu adalah orang-orang musyrik. Umat para Rasul itu adalah musyrikin saat sebelum menerima dakwahnya. Azar ayahnya Ibrahim adalah musyrik sebelum Ibrahim diutus, Abdul Muththalib juga berstatus musyrik.
Bahkan para ‘ulama menjelaskan bahwa nama musyrik itu ada sebelum adanya Risalah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata : “Nama musyrik itu sudah ada sebelum risalah, karena dia (pelakunya) menyekutukan Tuhannya, menjadikan tandingan bagi-Nya dan mengangkat tuhan-tuhan lain bersama-Nya.” (Majmu Al Fatawa: 20/38).
Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata saat menjelaskan para pelaku syirik yang mengaku muslim: “Maka macam orang-orang musyrik itu dan yang semisal dengan mereka dari kalangan yang beribadah kepada para wali dan orang-orang shalih, kami vonis mereka itu sebagai orang-orang musyrik, dan kami memandang kekafiran mereka bila hujjah risaliyyah telah tegak atas mereka.” (Ad Durar: 1/322 cet. lama).
Pelaku syirik akbar bila belum tegak hujjah dinamakan musyrik, sedangkan bila sudah tegak hujjah atasnya maka dinamakan musyrik kafir.
Bila antum tidak mengenal (istilah) ini, maka bisa jatuh ke dalam kekeliruan yang luar biasa fatalnya, seperti yang dialami kalangan salafiy maz’um dewasa ini.
Syaikh Hamd Ibnu Nashir Alu Mu’ammar dan putra-putra Syaikh Muhamamd Ibnu Abdil Wahhab berkata tentang para pelaku syirik yang mengaku Islam yang belum tersentuh dakwah tauhid: “Bila dia melakukan kemusyrikan dan kekafiran karena kebodohan dan tidak adanya orang yang mengingatkannya, maka kami tidak memvonis dia kafir hingga hujjah risaliyyah ditegakkan atasnya, namun kami tidak menghukumi dia sebagai orang muslim.” (Ad Durar).
Dia bukan orang kafir karena belum tegak hujjah risaliyyah, dan dia bukan muslim karena melakukan syirik akbar, tapi dia musyrik. Semoga antum faham istilah ini.
Orang yang tidak memahami istilah ini dari kalangan maz’uumin di negeri ini, maka mereka ngawur dalam memahami maksud perkataan para ‘ulama dakwah Tauhid. Mereka kira bahwa jika bukan kafir artinya dia itu muslim. Ini salah besar yang bersumber dari ketidakfahaman akan hakikat Al Islam.
Saat mereka mendapatkan pernyataan Syaikh Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah bahwa: “Bagaimana kami mengkafirkan orang jahil yang menyembah Qubbah Kawwaz…” mereka langsung meloncat girang seraya mengatakan bahwa pelaku syirik akbar yang jahil itu tidak kafir, tapi muslim sebagaimana perkataan Syaikh tadi.
Alangkah dungunya mereka itu, mereka tak ubahnya bagaikan lalat yang tidak mau hinggap kecuali pada benda kotor, sedang yang bersih dijauhinya. Begitu juga mereka hanya mencari ucapan-ucapan yang samar dan meninggalkan ucapan-ucapannya yang jelas yang berlandaskan Al Kitab dan As Sunnah serta ijma’.
Jarimah mereka itu tidak cukup disitu, tapi mereka menambahnya. Mereka mengambil perkataan Syaikh Muhammad tentang Ahlu Fatrah atau yang belum tersentuh dakwah yang mereka fahami secara keliru itu, terus mereka menerapkannya kepada orang-orang musyrik sekarang di saat hujjah bertebaran dimana-mana bahkan orang musyrik itu sendiri memiliki andil dalam penyebaran hujjah itu.
Bahkan bukan sekedar orang musyrik yang mereka bela, tapi tak kepalang tanggung para thaghut pun ikut mendapatkan pembelaan mereka yang penuh ikhlash tanpa diminta.
Tidaklah aneh bila mereka seperti itu, terbukti saat penulis bertanya kepada salah seorang Syaikh ‘Salafiy’ Maz’uum ~yang pernah mereka datangkan untuk menjegal dakwah ini~: “Apakah para penyembah kuburan yang bodoh (jahil) itu musyrikun atau muwahhidun?” Dia diam sejenak terus menjawab : “Ya ada yang mengatakan mereka itu muwahhidun.”
Kalau antum ingin mengetahui siapa orangnya yang mengatakan mereka itu muwahhidun (maksudnya muslimun), ketahuilah dia adalah Dawud Ibnu Jirjis Al Iraqi, salah seorang musuh dakwah Tauhid. Silakan rujuk Minhaj At Ta’sis Fi Kasyfi Syubuhat Dawud Ibni Jirjis karya Syaikh ‘Abdullathif Ibnu ‘Abdirrahman Ibnu Hasan Alu Asy Syaikh. (Ternyata pada zaman ini diikuti oleh Syaikh ‘Salafiy’ yang disebutkan tadi, ed.)
Syaikh ‘Abdullah Aba Buthain rahimahullah berkata: “Orang yang berbuat syirik itu musyrik, baik mau atau tidak (dengan nama itu).” (Al Intishar).
Demikianlah sekilas pembahasan tentang penamaan musyrik bagi pelaku syirik akbar.
Semoga antum sekalian memahaminya dan Allah Subhaanahu Wa Ta’ala membukakan dengan kunci ini ilmu-ilmu Tauhid lainnya. Jangan lupa doakan kami dan keluarga agar diberikan kebaikan di dunia dan akhirat. Serta kami tidak akan lupa berdoa semoga kita dikuatkan di atas Tauhid ini sampai ruh meninggalkan jasad kita ini insya Allah…
Aamin yaa Rabbal ‘Aalamiin…
Sabtu,11 Rabi Al Awwal 1425 H
01.05.2004