Berloyalitas dalam bahasa Arabnya adalah Al Wala atau muwaalah yang bermakna al mahabbah (cinta), an nushrah (pemberian bantuan), al mutaba’ah (mengikuti), dan al muwaafaqah (sikap setuju) sebagaimana yang dijelaskan Ibnu Atsir dalam An Nihayah.
Allah melarang orang muslim berwala dengan orang kafir:
“Engkau tidak mungkin mendapatkan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir berkasih sayang dengan orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, meskipun mereka itu ayah-ayah mereka, anak-anak mereka, saudara-saudara mereka atau karib kerabatnya…” (QS. Al Mujaadilah [58]: 22)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan orang-orang Yahudi dan Nashrani sebagai pemimpin, sebagian mereka adalah wali bagi sebagian yang lain. Dan siapa yang tawalliy kepada mereka di antara kalian maka sesungguhnya ia termasuk golongan mereka, maka sesungguhnya Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang zhalim” (QS. Al Maaidah [5]: 51)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan orang-orang kafir sebagai auliya dengan meninggalkan kaum mukminin…” (QS. An Nisaa’ [4]: 144)
Jadi loyalitas hanya boleh diberikan kepada orang-orang yang beriman, sedangkan orang kafir hanyalah diberi sikap bara’.
Adapun hukum berloyalitas kepada orang-orang kafir adalah haram berdasarkan ijma’ para ulama yang berlandaskan Al Qur’an dan As Sunnah. Perlu diperhatikan bahwa bentuk loyalitas ini ada yang mengeluarkan dari Islam dan sering disebut muwaalah kubra (tawalliy), dan ada pula yang “hanya” berupa dosa besar yang tidak mengeluarkan dari Islam dan lebih sering disebut muwaalah shughra.
I. Muwaalah Kubra
Muwaalah kubra adalah loyalitas yang mengeluarkan pelakunya dari Islam, dan ini ada empat macam:
Seperti orang yang mencintai Soekarno karena dia seorang Nasakom atau mencintai Amin Rais karena dia seorang demokrat sejati, atau mencintai si fulan karena dia anggota DPR/MPR, mencintai si fulan karena dia seorang Pancasilais, atau mencintai si fulan karena dia seorang Nasionalis, dan lain sebagainya.
Dan sebagai dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Siapa yang mengucapkan Laa ilaaha illallaah dan dia kufur kepada segala yang diibadati selain Allah, maka haram darah dan hartanya, sedangkan perhitungannya atas Allah” [HR. Muslim]
Dalam hadits ini orang dianggap muslim bila kufur kepada segala yang diibadati selain Allah, termasuk di antaranya yaitu ajaran syirik dan kekafiran. Derajat minimal bentuk kufur kepada ajaran syirik adalah membencinya, sedangkan orang-orang di atas tadi justeru mencintai ajaran syirik tersebut, sehingga batallah keislaman macam orang ini. (Komunisme, Nasionalisme, demokrasi dan isme-isme sejenisnya yang merupakan paham-paham syirik dan kekufuran, ed.)
Orang yang bergabung (secara aktif di lapangan ataupun berperan di belakang layar, ed.) dengan orang-orang musyrik dalam rangka menindas dan membungkam kaum muslimin, maka telah batal keislamannya, seperti orang-orang Afghanistan yang bergabung dengan pasukan Salibis pimpinan Amerika Serikat untuk menghancurkan Negara Islam Thaliban, atau Pemerintah Saudi yang telah membantu Amerika Serikat saat menggempur Negara Islam Thaliban, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Barangsiapa yang tawalliy kepada mereka di antara kalian, maka sesungguhnya dia adalah bagian dari mereka” (QS. Al Maidah [5]: 51)
Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata saat menyebutkan di antara pembatal keIslaman: “Membantu kaum musyrikin untuk menghancurkan kaum muslimin”.
Meyakini bahwa suatu perbuatan itu syirik atau kufur belumlah cukup, akan tetapi harus meninggalkannya. Orang yang mengetahui bahwa demokrasi itu syirik, akan tetapi karena alasan takut atau yang lainnya (kecuali dipaksa) mengikuti sistem demokrasi dan ia ikut dalam pesta demokrasi, maka dia telah keluar dari Islam. Kebencian terhadap sistem syirik dan para pelakunya serta kecintaannya terhadap Tauhid dan kaum muwahhidin tidaklah berarti bila dia mengikuti ajaran syirik tersebut.
Pancasila adalah falsafah syirik, maka orang-orang yang ‘sekedar’ ikut menyanyikan lagu Garuda Pancasila adalah telah keluar dari Islam, baik karena alasan basa-basi atau karena takut (kecuali dipaksa), meskipun dia itu benci dengan Pancasila dan para pendukungnya serta cinta kepada Tauhid dan kaum muwahhidin, karena dia mengikuti orang-orang musyrik dalam kemusyrikannya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya orang yang kembali ke belakang setelah jelasnya petunjuk bagi mereka, maka Syaitan mempermudah mereka (untuk berbuat dosa) dan memperpanjang angan-angan mereka. Yang demikian itu disebabkan sesungguhnya mereka mengatakan kepada orang-orang yang benci terhadap apa yang telah Allah turunkan: “Kami akan mematuhi kalian dalam sebagian urusan ini”, sedangkan Allah mengetahui rahasia mereka. Maka bagaimana keadaanya bila mereka itu diwafatkan oleh Malaikat seraya Malaikat itu memukuli wajah dan punggung mereka ? Yang demikian itu dikarenakan mereka itu telah mengikuti apa yang membuat Allah murka dan mereka membenci apa yang mendatangkan ridha-Nya, maka Allah hapuskan amalan-amalan mereka” (QS. Muhammad [47]: 25-28)
Bila saja orang yang mengikuti apa yang membuat murka Allah telah divonis murtad oleh-Nya, maka apa gerangan dengan banyaknya orang yang berposisi sebagai bawahan mengatakan kepada masyarakat “Kami hanya menjalankan tugas” setelah sang pejabat atasan membuat undang-undang kafir kemudian si bawahan itu melaksanakannya
Bila orang yang taat dalam sebagian kekafiran Allah Subhanahu Wa Ta’ala memvonisnya sebagai orang murtad, maka apa gerangan dengan:
Orang yang di hadapan thaghut menampakkan sikap setuju terhadap kekafiran dengan alasan basa-basi atau takut atau ingin dunia, maka dia kafir (kecuali bila dipaksa), meskipun meyakini bathilnya hal itu, membencinya, dan membenci para pelakunya serta cinta dengan Tauhid dan para muwahhid.
Seperti saat ujian siswa memuji Pancasila, demokrasi, Undang Undang Dasar 1945, dan lain-lain. Atau kagum dengannya atau bangga dengannya demi mendapatkan nilai ujian, maka dia itu kafir meskipun benci akan hal-hal itu dan para pendukungnya serta cinta kepada Tauhid dan kaum muwahhidin.
Seperti itu pula orang yang ingin membuat lembaga yang diakui thaghut, sedangkan thaghut mensyaratkan adanya mata pelajaran falsafah syirik (mis. PPKN) lalu mereka menerima syarat itu, maka hukumnya sama saja. Dalilnya sama dengan dalil di atas (QS. Muhammad [47]: 25-28).
Bahkan bila dia berjanji dusta untuk memenuhi syarat itu terhadap thaghut, tetap hukumnya sama saja. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Apakah engkau tidak melihat orang-orang munafiq, dimana mereka mengatakan kepada saudara-saudara mereka yang kafir dari kalangan Ahlul Kitab: “Bila kalian diusir, sungguh kami akan keluar bersama kalian dan kami tidak mentaati seorangpun selama-lamanya dalam hal yang merugikan kalian, dan bila kalian diperangi, maka sungguh kami akan membantu kalian”, sedangkan Allah bersaksi sesungguhnya mereka benar-benar dusta”. (QS. Al Hasyr [59]: 11)
Orang-orang munafiq di dalam Islam dihukumi muslim secara dhahir. Dalam ayat ini mereka berjanji untuk membantu orang-orang Yahudi dalam memerangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Allah memvonis mereka kafir padahal janji mereka itu dusta, maka apa gerangan dengan janji yang jujur? Begitu pula dengan orang yang menampakkan sikap setuju dengan demokrasi dan yang lainnya…
II. Muwaalah Shughra
Ini adalah sikap loyalitas yang tidak mengeluarkan dari Islam. Definisinya adalah: Setiap perbuatan yang menyebabkan penghormatan dan penghargaan terhadap orang-orang kafir dengan syarat (tetap, ed) membenci mereka, memusuhi mereka, dan mengkafirkan mereka, serta tidak tawalliy kepada mereka. Adapun contoh-contohnya adalah sebagai berikut :
Berkunjung untuk mendakwahi mereka bukan termasuk muwaalah shughra, akan tetapi dianjurkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menziarahi Abu Thalib untuk mendakwahinya, dan beliau juga menjenguk anak seorang Yahudi yang sakit untuk beliau dakwahi.
Syaikh Abdullah Ibnu Abdillathif Ibnu Abdirrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahumullah berkata saat menjelaskan perbedaan antara tawalli dengan muwalah: “Tawalli adalah kekafiran yang mengeluarkan dari millah, dan ia itu seperti membela mereka dan membantu mereka dengan harta, badan dan pendapat (dalam memerangi kaum muslimin). Dan muwalah adalah dosa besar, seperti menuangkan tinta atau merautkan pena atau berseri-seri kepada mereka seandainya dia menyodorkan cemeti untuk mereka”. (Ad Durar As Saniyyah: 8/422, lihat At Tibyan Fi Kufri Man A’anal Amrikan 98)
Bila orang kafir mengucapkan salam, maka cukup dijawab “wa’alaikum”. Mengucapkan “Assalamu’ala manit taba’il huda” kepada orang kafir dibolehkan. Menyambut uluran tangan orang kafir boleh saja, sedangkan amanah, utang, janji, dan jual beli harus ditunaikan meskipun terhadap orang kafir harbiy sekalipun.
Alhamdulillaahirabbil ‘Aalamiin…